Sabtu, 30 April 2011

Film Hukum Sebagai Sebuah Hukum?


Oleh: Wahyu Heriyadi

Film dan hukum, sebuah hubungan yang pada saat ini penting untuk kita gali. Stefan Machura dan Stefan Ulbrich melalui penelitiannya Globalization of the Hollywood Courtroom Drama, menyatakan bahwa audien di dunia barat sangat mengenal sistem hukum Amerika (melalui film-film Hollywood) daripada sistem hukum yang berlaku di negaranya sendiri. Hal ini mengakibatkan sebuah sistem hukum menjadi tidak dikenal akrab di tengah masyarakatnya. Melihat ke Indonesia, bahwa hukum yang bergentayangan di masyarakat dan realitas hukum yang menjadi tema dalam film hukum Indonesia, perlu untuk diketahui bagaimana interaksi yang terus berkembang di dalamnya.

Tentu hal ini akan dimulai dengan wacana tentang kapankah film hukum di Indonesia ini mulai muncul, dan alangkah asyiknya untuk disusun berdasarkan garis rentang waktunya. Selain dapat mengungkap motif dibalik pembuatan film hukum di awal-awal kemunculannya, juga misalkan apakah sebuah ketidakpuasan untuk menggambarkan dan kemudian menawarkan sebuah tataran hukum yang dianggap ideal, atau malah seringkali menonjolkan sebuah realitas ketidakadilan sebagai cerminan. Ideal tentang hukum tentu menjadi sebuah pertanyaan besar, pengidealan hukum yang seperti apa dan bagaimana, ruang dan waktunya, siapa dan mengapa.

Hingga saat ini belum dapat diketahui secara pasti, sejak film di Indonesia berkembang, berapakah film yang menampilkan tema hukum. Ini menjadi sangat penting, terkait dengan berkembangnya berbagai teori dan studi film hukum.

Di dalam memahami film secara formal, dapat dilihat melalui UU Perfilman, Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan. KBBI daring menyebutkan bahwa Film n 1 selaput tipis yg dibuat dr seluloid untuk tempat gambar negatif (yg akan dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif (yg akan dimainkan dl bioskop): gulungan -- yg disita itu berisi cerita sadisme; 2 lakon (cerita) gambar hidup: malam itu ia hendak menonton sebuah -- komedi;

Untuk genre film, KBBI daring menjelaskan sebagai berikut :

-- dokumenter dokumentasi dl bentuk film mengenai suatu peristiwa bersejarah atau suatu aspek seni budaya yg mempunyai makna khusus agar dapat menjadi alat penerangan dan alat pendidikan;

-- horor film cerita yg mengisahkan cerita-cerita yg menyeramkan;

-- kartun film hiburan dl bentuk gambar lucu yg mengisahkan tt binatang dsb;

-- laga film yg banyak berisi tt aksi, perkelahian, atau keributan;

-- murahan 1 film yg diproduksi dng biaya murah; 2film yg tidak bermutu;

-- seri film dng tokoh-tokoh utama yg sama tetapi dng cerita-cerita yg berbeda;

-- serial film yg ceritanya berseri (beruntun);

-- silat film yg mengisahkan tt cerita Cina dng banyak menampilkan adegan perkelahian dng adu ketangkasan bermain silat;

mem·film·kan v mendokumentasi (merekam) dl bentuk film (dr adegan atau novel): baru-baru ini dia ~ “Anak Perawan di Sarang Penyamun” karangan St. Takdir Alisyahbana;

per·film·an n pokok (hal) yg bersangkutan dng film

Dari uraian KBBI daring tersebut, film hukum atau juga film kriminal sebagai sebuah genre film belum mendapatkan tempat dalam KBBI. Oleh karena itu, untuk sementara kita juga dapat menyebutkan bahwa film hukum adalah film yang mengisahkan tentang hukum, ataupun juga film kriminal adalah film yang mengisahkan tentang kriminalitas atau pelanggaran hukum.

Pada awalnya, teori film dikembangkan dengan mempelajari film sebagai seni,[1] seperti halnya yang dilakukan oleh Ricciotto Canudo.[2] Kemudian juga berkembang Teori Film formalis,[3] Penggagasnya antara lain Rudolf Arnheim, Béla Balazs, dan Siegfried Kracauer, teori ini menekankan bahwa film itu berbeda dari kenyataan, sehingga bisa dianggap film sebagai seni rupa yang valid. Pada perkembangan, teori-teori tersebut mendapat tentangan dari André Bazin, ia menyatakan bahwa esensi artistik film terletak pada kemampuannya dalam mereproduksi realitas secara mekanik dan tidak berbeda dari realitas, hal ini yang kemudian disebut sebagai teori realis.

Dapat kita lihat bahwa teori film berkembang ke arah hubungan film dan masyarakat sebagai sebuah relasi yang saling mempengaruhi dalam konteks kebudayaan. Disini film telah meluas tidak hanya pada kritik terhadap aspek formal film itu sendiri atau estetik dari film, bergeser perlahan dan berinteraksi dengan masyarakat dalam dinamika budaya.

Perkembangan selanjutnya, kita dapat melihat seperti kritikus film Laura Mulvey dengan menggunakan pendekatan dalam analisisnya memadukan teori psikonalisis Freud dan Marx, kaitannya dengan pengembangan studi hukum dan film, metode yang digunakan Laura Mulvey ini kemudian dikembangkan oleh Orit Kamir untuk membedah film hukum dalam persfektif feminisme. Melalui bukunya Framed: Women in Law and Film (2006), Kamir diantaranya membedah film Rashomon karya Akira Kurosawa dan mengemukakan bahwa ternyata perempuan menjadi objek yang bersalah dalam representasi perempuan melalui film tersebut.

Pertanyaan selanjutnya adalah, sampai sejauh mana batas-batas film hukum tersebut. Film hukum seakan menjadi sebuah media untuk menggambarkan pengadilan, aparat penegak hukum, terhukum, dan para pencari keadilan. Tentunya akan lebih menarik lagi jika ranah pembatasannya adalah tanpa batas itu sendiri. Tetapi hukum bukan sebuah ranah tanpa batas, begitu juga dengan film. Hukum, nyatanya sudah teredusir ke dalam sebuah aturan, putusan, undang-undang misalkan, memiliki ruang dan waktunya. Begitu halnya dengan film, ia adalah gambar yang bergerak, tontonan, atau bahkan hiburan, tetapi disamping itu semua, perkembangan film adalah sebuah institusi, korporasi, ekonomis, dan bahkan hukum itu sendiri sebagai sebuah apparatus yang merangkul tubuh film. Membicarakan hukum dalam kerangka regulasi film, berdampak pada eksistensi sebuah film.

Eksistensi sebuah film dan regulasi perfilman masih sangat menarik untuk kita tinjau, namun pada perkembangannya, wilayah tegangan masayarakat – pemerintah – dan film ini pun terus mengembangkan perangkat analisanya. Sehingga tidak lagi terpaut pada regulasi yang ditegakkan oleh pemerintah dalam pertikaiannya dengan korporasi dan masyarakat perfilman. Sebuah ingatan kolektif untuk sensor film misalkan, betapa kita tidak dapat memungkiri bahwa ada pertarungan wacana antara kebebasan berekspresi dan tekanan dari rezim perfilman yang tertib.

Film juga muncul sebagai sebuah memori dari sebuah peristiwa. Menampilkan sebuah peristiwa yang ditampilkan ke dalam layar kaca. Usaha untuk mengingat sebuah peristiwa melalui film sebagai sebuah institusi pengingat, membuat selalu ingat, karena tetap dapat diputar ulang.

Wacana hukum sebagai film, sebuah pandangan yang berkembang kemudian, memberanikan diri untuk melepas batas antara ranah hukum dan ranah film secara masing masing. Film Hukum sebagai sebuah yurisprudensi misalnya, dianggap sebuah dokumentasi dari putusan hakim. Jika memang film hukum itu berdasar pada sebuah peristiwa nyata terjadi kemudian dihadirkan dalam film, maka tentu akan mendapat tempat menjadi sebuah ranah dalam Yurisprudensi Sinematik.

Tetapi, imajinasi yang melingkup sehingga film itu meski berbicara hukum, ini semakin menjadi perdebatan. Apakah memang dapat sebuah imajinasi dalam hal ini fiksi menjadi sebuah doktrin hukum ataupun yurisprudensi sinematik. Dalam hal ini kita perlu meninjau bahwa bukankah hukum itu juga adalah sebuah lapisan imajinasi? Sebuah orde ketertiban yang diyakini akan menciptakan ketentraman melalui rezim tertib hukum, tentu ini sebuah imaji dari ketidaktertiban itu sendiri, sebuah realitas yang bahkan imajiner sekalipun. Hukum melalui imajinasi seperti halnya akan mencipta sebuah orde ketertiban. Hukum yang kaku dan tereduksi ke dalam konsep sebuah aturan tertulis.

Nah, bagaimana jika hukum itu menjadi sebuah hal yang visual, sebuah gambar yang senantiasa hidup dan bergerak-gerak, menayangkan sebuah narasi. Hukum menjadi antara visual, simulasi, tontonan yang bisa diputar ulang selain sekedar bacaan dan praktek. Namun kita tak dapat menyangkal bahwa hegemoni film Hollywood ini lebih mendapat tempat dibandingkan film hukum buatan Indonesia. Semoga dengan terlacak secara historis genre film hukum di Indonesia akan memberikan wacana untuk mengembangkannya ke dalam kajian film dan hukum.

Film hukum klasik Hollywood misalnya 12 Angry Men (1957) tentang perdebatan para juri di ruangan khusus tempat para juri untuk memutuskan bersalah atau tidaknya seseorang, dimana dalam film tersebut, seorang anak yang tadinya 11 juri menyatakan bersalah namun kemudian dapat berbalik arah karena seorang juri dapat meyakinkan 11 juri lainnya untuk menyuarakan bahwa anak yang diadili tersebut adalah tidak bersalah.

Pada film Philadhelphia (1993) yang dibintangi Tom Hank (Andrew Beckett) misalnya, kita dapat mengikuti alur film yang menggulirkan bahwa homoseksual yang menderita AIDS berupaya untuk memperjuangkan hak-haknya melalui prosedural hukum, akibat dari diskriminasi dalam pekerjaan dan penghidupan layak yang dialaminya.

Hingga film Howl (2010) tentang kisah penyair generasi beat di Amerika yaitu Allen Ginsberg (James Franco) dalam kontroversi karyanya yang dibawa ke pengadilan pada tahun 1957, terjadi perdebatan mengenai kebebasan berpendapat, keratifitas, hingga hak cipta. Tentu masih banyak film hukum buatan Hollywood yang lainnya, bahkan ada sebuah ungkapan yang berkembang yaitu Hollywood Loves Lawyer.

Film Indonesia pun tak ketingalan untuk berbicara hukum, diantaranya Ponirah Terpidana, Marsinah, Sandal Bolong Hamdani, Jamilah dan Presiden, dan masih banyak lagi. Misalnya pada film Marsinah sebagai film hukum pascaordebaru, kita dapat melihat tragedi kemanusiaan yang divisualkan melalui film, ataupun wacana yang berkembang di luar film itu sebagai sebuah problematika masyarakat serta budayanya. Sebuah realitas tentang Marsinah yang dihadirkan sebagai perjuangan untuk mengingat tragedi hukum melalui film, juga rilis film yang membuat beberapa pihak yang mungkin terusik merasa terganggu, ada juga penghargaan dari institusi pengapresiasi film terhadap film Marsinah tersebut.

Nah bagaimana kita dapat mencapai sebuah pengembangan film hukum dan berbagai teori yang berkembang dalam kaitannya dengan Hukum dan Film, maka pendokumentasian Film Hukum Indonesia sudah saatnya dilakukan, karena dalam film hukum begitu kaya akan pembelajaran hukum dan pendapat hukum yang berlandaskan atau bahkan mempertanyakan kembali teori hukum yang mapan dan bergeraknya hukum di masyarakat yang bergegas.



[3]Teori film formalis Adalah teori film yang memfokuskan pada elemen formal atau teknikal dari sebuah film, antara lain tata cahaya, skoring, suara dan set desain, penggunaan warna, komposisi pengambilan gambar, dan editing.